Mitos. Kata yang sering timbul di kepala ketika mendengarkan
orang tua –yang dianggap kuno- sedang bercerita tentang hal-hal yang tidak
masuk akal. Mitos erat kaitannya dengan legenda atau cerita rakyat yang tidak
selalu jelas asal-usulnya. Sebagai bagian dari bangsa timur, nusantara memiliki
beragam mitos yang populer di masyarakat. Mitos, yang terus ditanamkan oleh
orang tua kepada anaknya sejak balita, akan menjadi sebuah aturan, bahkan kepercayaan.
Mitos yang disampaikan dalam masyarakat tidak melulu tentang perilaku manusia,
tapi juga tentang obat-obatan tradisional, dari yang herbal sampai yang berbau
klenik.
Foto: Vitra Apriyanto
Untuk menemukan solusi untuk sebuah masalah, nenek moyang
kita tak pernah melakukan pengujian ilmiah. Insting, pengetahuan implisit dan
keyakinan, cukup untuk membuat sesuatu yang tidak masuk akal menjadi solusi
sebuah masalah. Contoh yang saat ini masih tersisa adalah mengerok punggung
(kerokan) pada saat masuk angin. Ketika diuji secara ilmiah, kerokan tidak
membuat angin keluar dari tubuh. Kerokan akan membuat rangsangan nyeri di
punggung, sehingga nyeri yang lama akan berkurang, bahkan menghilang. Pun
seperti itu faktanya, masyarakat masih menganggap kerokan sebagai salah satu
pengobatan alternatif untuk membuat angin keluar atau sekedar membuat badan
lebih ringan ketika masuk angin. Kerokan telah menjadi sesuatu yang wajar
dilakukan ketika masuk angin.
Sesuatu yang dianggap sebagai kewajaran lahir dari
kebiasaan-kebiasaan di lingkungan sosial. Sebuah kewajaran pula bila, pada
zaman dahulu, seseorang sedang sakit pergi ke dukun atau paranormal untuk
berobat. Dan mereka pun sembuh, seperti masyarakat modern sehabis berobat dari
dokter. Sesuatu yang tidak bisa diterima akal sehat, tentunya. Seorang dukun
yang dapat menyembuhkan pasiennya tidak dapat dibuktikan dengan fakta-fakta
ilmiah, yang oleh bangsa barat terus diagung-agungkan untuk menemukan
kebenaran. Namun dalam ketidakilmiahan tersebut terdapat sebuah keyakinan untuk
sembuh dari dalam diri pasien ketika pergi ke dukun. Mitos menjadi sebuah
keyakinan dan melahirkan sugesti yang akan menghasilkan energi. Ketika
“sesuatu” diberikan sugesti positif, maka “sesuatu” tersebut menghasihkan
energi positif. Kerokan dan berobat ke dukun merupakan contoh nyatanya.
Mitos yang diberikan oleh para orang tua secara tidak
langsung mengajarkan bangsa ini untuk tetap memberikan sugesti positif terhadap
segala sesuatu. Namun, dengan menjamurnya modernisme di berbagai tempat, mitos
para orang tua mulai tergusur layaknya kebudayaan lokal yang mulai luntur. Budaya
kritis mulai terbenuk untuk merekonstruksi nilai-nilai yang telah ada. Sikap
kritis masyarakat modern melulu menuntut fakta ilmiah untuk menjelaskan segala
sesuatu dan mencari kebenaran, tak terkecuali untuk menjelaskan dan mencari
kebenaran tentang Tuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan terhadap sesama kian
memudar.
Saat ini, mitos diasosiasikan sebagai sebuah kepalsuan atau
kebohongan para leluhur yang hanya dapat dipercayai oleh anak kecil.
Kepercayaan terhadap sebuah mitos dianggap kebodohan, menipu diri sendiri.
Namun sejarah mengatakan bahwa manusia akan selalu memerlukan mitos untuk
memuaskan dirinya sendiri, layaknya onani.